Sabtu, 29 Agustus 2009

Tenganan Pegringsingan, Manggis - Karangasem


Desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Sejak berabad abad, desa tua ini tetap menerapkan sistem pola menetap masyarakat bali aga atau bali asli. sampai saat inipun semua tata cara pengelolaan desa dan kependudukan, masih mengacu pada tradisi yang diwariskan leluhur mereka. Tradisi megalitik sangat erat dengan kehidupan mereka sehari hari.

Desa Tenganan Pagringsingan yang kemudian disebut Pegringsingan saja, adalah sebuah desa kuno yang wilayahnya di bagi tiga yakni perkampungan, daerah Hutan Lindung, dan kawasan pertanian. Di wilayah perkampungan dibuat petak-petak yang sama besar dengan bangunan berbentuk sama pula. Sementara hutan lindung yang mengelilingi perkampungan juga menjadi milik bersama. Semua hasilnya akan menjadi milik adat. Begitu pula tanah pertanian yang tidak bisa menjadi milik pribadi.

Tenganan juga masih memelihara tempat tempat suci, pemujaan, serta adapt istiadat yang berasal dari jaman megalithic. Leluhur orang tenganan dipercaya berasal dari daerah Peneges. Ada beberapa monolit atau candi yang bisa kita temui di Tenganan. Candi atau monolit ini berkaitan dengan cerita asal muasal tenganan .

Keunikan yang bisa dilihat langsung di Tenganan adalah pola menetap masyarakatnya. Perkampungan dikelilingi semacam tembok seperti benteng. Terdapat 4 pintu di empat penjuru mata angin untuk masuk ke wilayah ini. Namun pintu masuk utamanya adalah dari arah selatan, dari desa Pasedahan.

Begitu memasuki tenganan kita akan berhadapan dengan jalan desa yang disebut Awangan. Awangan tersebut berundak undak, semakin keutara semakin tinggi. Ada tiga awangan disini yakni barat tengah dan timur. Awangan ini juga membagi tenganan ke dalam 3 banjar yakni Br kauh, Br Tengah dan Br Kangin atau Br Pande.

Satu kapling perumahan, ditempati oleh satu kepala keluarga. Luas petak sama besar, dan bangunannya pun sama, terdiri dari bale meten, bale tengah, bale bunga, dan paon. Yang menarik, selain memiliki luas yang sama, 1 kapling rumah hanya ada satu pintu keluar yang semuanya menghadap ke awangan.

Di Tenganan, kehidupan penduduk sangat diatur oleh awig-awig desa setempat. Misalnya setiap ada keluarga baru, 3 bulan setelah menikah mereka harus memisahkan diri dari orang tua dan menempati kapling baru yang disiapkn oleh desa. Hingga saat ini pertumbuhan penduduk tenganan sangat stabil. Artinya jumlah kematian dan kelahiran nyaris seimbang.

Sanksi sanksi juga diterapkan bagi mereka yang melaggar ketentuan ketentuan adat. Seperti bagi mereka yang menikah dengan orang luar yang bukan orang tenganan. Baik laki-lakinya yang menikahi perempuan non tenganan maupun perempuan tenganan yang menikahi laki-laki yang bukan asli tenganan. Semua ada sanksinya.

Selain berbeda pola menetap, Tenganan juga memiliki perbedaan dalam menjalankan adat dan ritual keyakinan mereka. Masyarakat Tenganan menyetarakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Desa juga memiliki lembaga legislatif desa yang menjadi peran utama dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan upacara maupun ritul adt tenganan.

Masyarakat Desa Tenganan memiliki beberapa upacara adat dalam setahunnya. Namun yang terbesar adalah pada bulan atau sasih ke 5, yang disebut NGUSABA SAMBAH. Sekitar bulan juni atau juli. Upacara ini merupakan upacara yang merefleksikan seluruh perbuatan selama setahun. Dalam upacara ini terdapat sebuah atraksi yag selanjutnya menjadi salah satu daya tarik Desa Tenganan yakni Perang Pandan atau mekare-kare.

Saat Ngusaba Sambah, semua komponen masyarakat Tenganan terlibat didalamnya. Menurut adat, hanya Truna sebutan bagi remaja pria, yang berperang dengan senjata seikat pandan. Namun karena semangat ingin meramaikan, maka tua maupun anak-anak juga bersemangat mengikuti atraksi ini. Inilah duel lelaki Tenganan. Diiringi tetabuhan suci selonding, Berbekal pandan dan tamiang, mereka siap bertarung dalam sebuah lingkaran. Sasarannya adalah bagian punggung. Namun tidak menutup kemungkinan duri pandan juga akan melukai bagian tubuh lainnya seperti perut dan wajah.

Ketika perang usai, luka akibat pandan tai akan dibaluri semaca boreh sebagai obatnya. Boreh boreh tersebut sebelumnya telah disiapkan oleh para daha- sebutan para gadis tenganan. Ramuan ini diantaranya terdiri dari campuran isen, kunir dan cuka. Perang pandanpun berakhir.

Semua adat dan budaya masih hidup di Tenganan. Pakaian adat salah satunya. Semuanya seragam sehingga nyaris tak ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Termasuk kain geringsing yang terkenal itu. Kain kuno yang ditenun secara tradisional ini. Semuanya tetap terjaga rapi.

Meski arus dunia pariwisata menerpa tenganan sejak berpuluh tahun lalu, tenganan secara adat tidak pernah berubah. Para turis, walau diperlakukan layaknya tamu, tak pernah dimintai apa-apa. Masyarakat tenganan tetap beraktivitas seperti biasa, termasuk menjajakan barang-barang seni di areal pekarangan rumahnya masing-masing. Waktu akan terus bergulir.beberapa tahun lagi kita akan kembali ke Tenganan untuk membuktikan, seberapa kuat pertahanan mereka....

1 komentar:

  1. wah...seru nonton perang pandan! hehehe...

    pura nya juga cantik sekali, kuno dan indah.

    salam kenal

    BalasHapus